Jumat, 28 Januari 2011

KARYA IBUNDA PINK TERCINTA


                                     “Pelangi yang Memudar’’
Aku sudah tak dapat berkata-kata lagi , kecuali dua patah kata yang meminta penjelasannya. Ada banyak hal yang sebenarnya tertata di benakku dan ingin segera kutumpahkan di hadapannya. Tapi, seolah deretan panjang kata-kata itu nyangkut di tenggorokan dan membuat dadaku terasa sesak. Sesaat aku hanya memandanginya, memandangi wajah tertunduk tapi menyimpan kemenanganluar biasa itu. Tiba-tiba aku seperti tak mengenalinya sama sekali. Siapa dia yang selama lima tahun terakhir ini hidup bersamaku?
”lantas apa maumu?” tanyaku yang ternyata hanya mampu terlontar dalam hati. Ia diam, tak bergerak,hanya sesekali memainkan ujung bolpoin yang ada di tangannya.
”Jika kau bara api, kau telah lunaskan segala harga diri:

***
Hari telah beranjak senja ketika laki-laki itu mengntar kepergian istrinya. Di depan gerbang besi yang mulai karatan itu matanya nanar memandang. Ada gamang, ragu, berbaur dengan kesal tiada tara kepada perempuan yang telah lima tahun ini mendampinginya. Ah, begitulah nasip rumah tangga yang terpisah. Kesalahan kecil pun dapat mementik nyala api, hingga habis hangus tiada sisa.
Dia sebenarnya amat sadar, bahwa kesalahan itu bukan mutlak dilakukan istrinya. Kata-katanya yang amat pedas telah membakar harga diri tertinggi istri yang sebenarnya amat dia sayangi. Tapi dia laki-laki, pantang baginya minta maaf, apalagi dia yakin betul terhadap desas-desus perselingkuhan istri dengan mantan pacarnya itu.
Setelah hilang bayangan punggumg istrinya, dengan enggan ia tutup kembali gerbang besi itu. Sewaktu itu pula ia tutup hatinya untuk istri yang menurutnya terlalu sering melukai perannya sebagai suami.
”Ke mana mencari, jika sebagian jiwa telah kau bawa pergi”

***
Rangga memang bukan enak kecil lagi. Secara fisik, dia nyaris sempurna, sesempurna otak yang dikaruniakan kepadanya. Tak Cuma sekali dua kali dia mengukir prestasi, hingga aku tidak saja bangga memiliki dia, tapi dialah matahari yang senantiasa menyinari hari-hari sepiku hampir tiga belas tahun ini.
Tiga belas tahun sudah aku mejadi ibu sekaligus bapak bagi ibu Ranggaku. Apa pun kulakukan demi kebahagiaannya. Sampai aku bertekad tak mau menikah lagi, meski tawaran itu sering ada dan menggoda diriku. Selama itu pula tak pernah ku dengar kabar bertanya. Perceraian itu telah benar-benar memisahkan kami. Entah bagaimana
kabarnya. Barangkali ia kini telah bahagia dengan keluarga barunya. Aku juga bersyukur ia tak pernah menemui Rangga, hingga aku tak perlu repot menjelaskan kepada Rangga tentang keberadaannya. Aku juga tak usah membongkar kebohonganku jika Papanya telah meninggal dunia.
”Mama, coba lihat ke sini ....!!” Suara Rangga memecah gelombang lamunan tentang masa lalu yang entah mengapa akhir-akhir ini begitu menghantuiku.
”Mengapa kau teriak demikian keras? Apa yang kau lihat?” tanyaku tak beranjak dari tempatku berdiri tadi.
”Mama, tengoklah ke sana, pelangi yang kita nantikan akhirnya datang juga. Jika papamasih hidup, mungkin papa juga akan senang menemuipelangi yang selalu saja datang di musim penghujan ini.”
Aku terkejut mendengar kata-katanya,bagaimana ada pelangi jika sinar mentari tak sejenak pun menampakkan diri. Akhir-akhir ini dia memang tergila-gila pada pelangi. ”Tataplah langit, anakku, jika engkau mampu menggenggam seluruhnya dalam pandang papamu pun akan menatap langit dan bertemu mata denganmu .” Aku sadar, bahwa kata-kata itu hanya boleh terucap dalam hatiku saja.
”Mmengapa mama diam? Mengapa mama selalu diam jika aku menyinggung papa Beban
apakah kiranya yang membuat mamaterlalu pendiam di hadapanku?” Tajam mata penuh tanda tanya itulah yang selalu meluruh habis air mataku dan senantiasa mengakhiri adegan perbincangan kami.
”Bagaimana bertahan, jika gelombang rindu dengan senantiasa menenggelamkan?”                                                                                                                                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar