Jumat, 14 Januari 2011

TAUHID DAN PLURALISME PENDIDIKAN ISLAM

A.    Membentuk Keshalehan Individu
Secara fitrah manusia memang cenderung untuk melakukan sesuatu yang baik, benar dan indah. Namun terkadang naluri mendorong manusia untuk segera memenuhi kebutuhannya yang bertentangan dengan realita yang ada.[1] Misalnya dorongan untuk makan ingin dipenuhi, namun secara realita kebutuhan itu tidak ada, sehingga ada kecenderungan seseorang untuk menuruti kata egonya untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan dengan melakukan pencurian. Ketika ego manusia mendominasi dirinya ketertarikan untuk melakukan hal-hal yang negatif sangatlah dominan. Dan jika ego memiliki kecenderungan untuk meninggalkan hal-hal yang negatif, maka ego akan mendapatkan penghargaan dari hati nurani.
Pemenuhan dorongan pertama akan mengakibatkan terjadinya kegelisahan pada ego, sederhana pemenuhan dorongan kedua akan menjadikan ego tentram. Dengan demikian kemampuan ego untuk menahan diri tergantung dari pembentukan ego-ideal.[2]  Dalam kaitan inilah bimbingan dan pendidikan Islam sangat berfungsi bagi pembentukan kepribadian seseorang. Pendidikan tauhid, moral dan akhlak ini adalah dalam upaya pembentukan ego-ideal dengan nilai-nilai luhur. Dan menurut Sigmund Freud, ego-ideal ini terbentuk oleh lingkungan baik di keluarga maupun masyarakat. Sedangkan peletak dasar adalah orang tua.
Dengan demikian apakah  kepribadian seseorang baik dan buruk, kuat dan lemah, beradab dan biadab, sepenuhnya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi dalam perjalanan hidup seseorang tersebut, disamping juga faktor pembawaan.[3]     
Karena itu tujuan pendidikan Islam bukan ketakwaan dan keshalehan sebagai produk takdir, tetapi sebuah kesadaran dan kemampuan bertindak yang mampu diuji dan dievaluasi.[4] Konsep takdir atau hudan ditafsiri sebagai hukum kausalitas yang sebagian masih tersembunyi dan sebagian lain sudah terungkap yang bisa dikaji secara rasional. 
Karena itu, takwa dan pribadi muslim atau keshalehan perlu ditafsiri dalam suatu rumusan  tindakan yang rasional dan objektif, dalam arti ada ukuran yang jelas.[5] Proses pembelajaran bukanlah pencarian takdir, tetapi merupakan sebuah tindakan manusia bagi pencapain tujuan yang rasional dan objektif. Rumusan tujuan pendidikan Islam atau bagi umat Islam bukan takwa dan pribadi muslim, melainkan seperangakat tindakan yang terukur itu sendiri.
Dalam kehidupan nyata  pendidiakn Islam dihadapkan pada kejahatan isu white colar crimes (kejahatan kerah putih  atau kejahatan yang bisa dilakukan misalnya oleh para guru, eksekutif, birokrasi, dan politisi atau setingkat dengan mereka).[6] Secara sepintas mereka semua termasuk kategori orang-orang yang pernah mengenal dunia pendidikan atau bangku sekolah, setidaknya mereka pernah mendengar mana yang baik dan buruk, patut dan tidak patut, salah dan benar dan seterusnya, dan juga pernah mengenal dosa dan pahala, tetapi kenyataan dari mereka tidak memiliki keshalehan dan kepribadian, yang membentuknya. 
Keshalehan seseorang bukanlah sesuatu yang diidentikan dengan bahasa yang melangit sebagai satu ketaatan yang mutlak yang hanya mampu ditunjukan kepada sang Maha Agung Tuhan, akan tetapi kesahalehan juga dapat dibahasan sebagai sesuatu yang dapat membumi dalam tataran kemasyarakatan, dan keshalehan itu pula yang akan membentuk moralitas pelakunya dalam pergaulan di lingkungan masyarakat. Adapaun moral ialah ialah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut.[7]
Dalam Islam moral sering diterjemahkan dalam kategori akhlak. Murtada Muthahari misalnya mengatakan bahwa akhlak mengacu kepada sesuatu perbuatan yang bersifat manusiawi, yaitu perbuatan yang lebih bernilai dari sekedar perbuatan alami seperti makan, tidur, dan sebagainya. Perbuatan akhlak lebih bernilai seperti perbuatan berterimakasih, khidmat kepada orang tua dan sebagainya.[8] Maka dari itu akhlak atau moralitias memiliki ciri sebagai berikut; pertama, perbuatan tersebut telah mendarah daging, sehingga menjadi identitas orang yang melakukannya. Kedua, perbuatan tersebut dilakukan dengan mudah, gampang serta tidak memerlukan pemikiran lagi. Ketiga, perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan dan pilihan sendiri, bukan merupakan paksaan dari luar. Keempat, perbuatan tersebut dilakukan dengan sebenarnya, bukan pura-pura. Kelima, perbuatan tersebut dilakukan atas nilai illah karena Allah.[9] 
Maka keshalehan menjadi perwatakan sikap seseorang, ketika perilaku dan sikap itu sudah mendarah daging dan menyatu dengan jiwanya, dengan demikian cerminan yang akan muncul dari pribadi dengan karakteristik keimanan dengan berlansdasakan pada tauhid secara puritan akan melahirkan muslim yang taat dan tunduk dengan penuh kesadaran dan keikhlasan sebagai manifestasi dari pada keimanan yang dimilikinya itu, akan tertuang dalam perilaku sosial.
Sehingga ketauhidan akan dapat menjadikan seorang muslim mampu menjalankan ajaran agama dengan benar jika memang menggunakan penyatuan, atau kemanunggalan dengan Tuhan. Satu keyakinan yang akan dibangun seorang, jika telah mencapai tahapan hanif adalah segala sesuatu persoalan kehidupan semunya akan dikembalikan pada Tuhan sebagai bentuk penghambaan dan cintanya, maka jalan hidup yang akan mampu untuk ditempuh oleh seseorang semacam itu akan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhannya. Dan menganggap bahwa hidup merupakan amanat yang telah dititipkan kepadanya dan tidak mungkin kita untuk menghianati amat (kepercayaan) terbaik Tuhan. Dan jika kita mencoba memaknai sebuah amanat tidak akan berhenti sampai pada tataran yang melangit tetapi amanat itu mampu kita berikan pada wilayah kehidupan yang riil, bagaimana kita mampu untuk menerima menjaga yang telah diberikan orang lain kepada kita untuk terus kita pertanggung jawabkan sampai amanat itu berakhir, seiring berakhir amanat yang telah diberikan itu untuk dicabut.   

B.     Tauhid Sebagai Kesatuan Kebenaran
Keesaan Tuhan dan kesatuan kebenaran tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan aspek-aspek dari satu realitas yang sama. Ini akan menjadi jelas karena kebenaran adalah salah satu sifat dan kenyataan tauhid, bahwa Tuhan itu tunggal, esa. Jika kebenaran tidak satu, maka pernyataan “Tuhan itu Esa” bisa dibenarkan dan, tidak begitu juga, pernyataan “sesuatu benda dan kekuatan lain adalah Tuhan” dapat dibenarkan.[10] Mengatakan bahwa kebenaran itu satu tidak hanya sama dengan menegaskan bahwa tujuan itu satu, melainkan menegaskan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan, yang merupakan gabungan dari penafian (negasi) dan penegasan (afimasi) yang dinyatakan oleh syahadat.
Sebagai prinsip metodologi, tauhid dalam perspektif ini mengandung tiga prinsip penting yang layak dikembangkan dalam kerangka pendidikan Islam. Prinsip, pertama, Islam sangat mengutamakan ilmu pengetahuan yang benar, sesuai dengan realitas, dan sebaliknya menolak segala pengetahuan yang menyimpang dari kebenaran, tidak berkaitan dengan realitas.[11] Prinsip ini menjadi segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik. Penyimpangan dari realita atau kegagalan mengaitkan dengan realita sudah cukup untuk membatalkan suatu aitem penafsiran agama, apakah itu pokok hukum (fiqh), prinsip-prinsip etika moral (akhlak) atau pemikiran spekulatif dalam kajian teologi, filsafat maupun tasawuf. Keyakinan pada prinsip tauhid tidak menutup kemungkinan pada setiap orang untuk mengunakan daya intelektual dan akal budi nuraninya untuk berijtihad sepanjang memenuhi kriteria kebenaran (ilmiah, historis, normatif, dan lain-lain).
Prinsip kedua, keyakinan pada keesaan Tuhan dan kebenaran tidak mengakui terhadap segala bentuk kontradiksi dan paradoks. Dan sebaliknya mengakui keteraturan dan keharmonisan.  Prinsip ini merupakan prinsip rasionalisme.[12] Tanpa itu tidak ada jalan untuk  keluar dari skeptisme, bahwa suatu kontradiksi mengandung arti bahwa kebenaran itu dari masing-masing kontardiksi itu akan diketahui. Kontradiksi bisa terjadi pada pemikiran dan atau pandangan hidup manusia yang tidak mengakui kesatuan eksistensi Tuhan, misalnya pandangan hidup dualisme, trinitarianisme dan politaisme. Keyakinan pada satu Tuhan, dengan demikian, membebaskan manusia dari berbagai bentuk kontradiksi dan kekacauan pemikiran atau disharmoni dalam jagat  raya.   
Prinsip ketiga, tauhid sebagai satu kesatuan kebenaran. Kebenaran itu satu dan pengetahuan itu satu karana ilmu itu juga.[13] Sumber kebenaran, sumber pengetahuan itu satu, yaitu dari Allah. Di sini berlaku kebenaran mutlak. Namun, kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan bertebaran di alam semesta dalam pola kerja sunnatullah (hukum kehidupan) dan hukum alam (takdir) yang sudah kostan. Tapi apa sesungguhnya hakekat sunnatullah dan takdir, manusia tidak ada yang mampu menembusnya. Pada tataran ini berlaku kebenaran relatif. Artinya manusia punya ruang gerak bebas dan luas untuk menemukan kebenaran-kebenaran relatif itu. Wilayah ilmu pengetahuan ada pada tataran ini. Setiap orang mempunyai kesempatan menemukan kebenaran dan pengetahuan dengan cara yang berbeda-beda. Namun, kebenaran relatif itu akan tetap dalam pola illahiah (kebenaran mutlak, sunnatullah, takdir) selama proses pencarian tidak dicampuri keinginan-keinginan nafsu dan fikiran dzan.
Kesatuan kebenaran dan ilmu pengetahuan, berkenaan dengan teori pengetahuan, Islam dapat diposisikan sebagai kesatuan kebenaran.[14] Kesatuan ini diambil dari keesaan mutlak Allah. Karena yang Maha Besar (al-Haq) merupakan salah-satu dari nama-nama Allah, al-Faruqi menyatakan bahwa Allah itu esa sehingga di sini hanya ada satu kebenaran. Logika keselarasan antara rasio, kebenaran, dan realitas fakta-fakta wahyu merupakan epistemologi yang sungguh dikenal dan didasarkan pada prinsip ilmu pengetahuan Islam.[15]
Kesatuan kebenaran mengisyaratkan tidak ada klaim atas nama wahyu yang berlawanan dengan realitas. Kesatuan kebenaran mengisyaratkan bahwa tidak ada kontradiksi antara rasio dan wahyu adalah satu yang mutlak. Kesatuan kebenaran mengisyaratkan tidak ada penelitian alam atau bagian-bagianya yang dianggap sebagai kesimpulan akhir. Tamsil-tamsil Allah dalam ciptaan-Nya tidak terbatas.[16] 
Subtansi ilmu secara ontologi berupa kebenaran rasional dan empirik. Kebenaran rasional dan empirik tersebut secara epistemologi perlu dapat dibuktikan oleh siapa pun dan kapanpun. Kebenaran rasional empirik yang di masa-masa lalu dituntut objektif, dituntut netral, kini secara aksiologi telah bergeser pada perlunya kebenaran rasional empitik yang beroerentasi kepada weltanschauung, pada moralitas, seperti kemanusiaan dan keadilan.[17]
Dalam ilmu tauhid kita mengenal tiga kebenaran yaitu, kebenaran Allah, kebenaran manusia dan kebenaran alam. Dalam telaah ontologi kami pilih dua kebenaran saja. Pertama, kebenaran Allah dan yang ghaib,. Yang berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan. Kedua,  kebenaran manusiawi, termasuk pemahaman manusia terhadap alam semesta. Merupakan objek ilmu pengetahuan.
Kebenaran manusia adalah kebenaran yang sebagaimana tertangkap atau terpahami oleh manusia tentang dirinya, tentang alam semesta, dan tentang wahyu. Kebenaran sebagian ditangkap dan dipahami oleh manusia dari inderanya, sebagai logikanya, sebagian oleh budi etikanya, dan sebagian oleh fuad imannya. Sehingga kebenaran-kebenaran tersebut kami sebut sebagai kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logika, kebenaran empirik etika, kebenaran empirik transidental. Yang pertama terhayati oleh indera kita, yang kedua terhayati oleh rasio logika kita, yang ketiga terhayati oleh super-rasio kita (menggunakan logika dan budi nurani kita), dan yang ke keempat terhayati lewat trans-rasio kita (menggunakan logika yang dilandasi keimanan kita). Empat kebenaran ini bukan merupakan kebenaran ganda, melainkan kebenaran tunggal multifaset.[18]
Kebenaran transidental yang tertuang dalam ilmu kauniyah berupa nash, dapat tampil pula dalam empat tataran, yaitu tataran sensual (berupa ayat), dalam tataran logika (berupa isyarah), dalam ataran etika (berupa hikmah dan hudan) dan dalam tataran transidental (berupa rahmah).[19]

C.    Membangun Struktur Kesatuan Ilmu

Ilmu pengetahuan adalah suci dan merupakan anugerah Allah. Mengetauhi adalah salah satu sifat-Nya, dan Dia maha Mengetahui segala sesuatu. Manusia menjadi makhluk yang sangat penting Karena dia mampu mengetahui, sebuah anugerah Allah yang diberikan langsung setelah ia diciptakan. Sikap mengetahui itu penting sebanding dengan eksistensi dirinya. Melalui Adam diberikan kepastian kreatif dalam diri manusia.[20]
Sebagian ahli berpendapat, ada dua macam pengetahuan : al-‘ilmu al-qadim (pengetahuan yang diwahyukan) dan al-ilmu al-hadith (pengetahuan science). Tipe pertama adalah pengetuhuan Allah, sedangkan tipe kedua adalah pengetahuan hasil eksperimen manusia.[21]
Orang-orang yang kehilangan pengetahuan inheren ini akan menjadi manusia yang tidak seperti manusia biasa (yakni, bahwa ia itu tidak dapat mengetahui apa api itu dapat membakar, dan oleh karena itu dia akan menempatkan dirinya kedalam mara bahaya).
Sepanjang ajaran otentik Islam, ilmu pengetahuan bersumber dari dua bentuk wahyu yang berupa al-Qur’an, dan yang lain berupa sunatullah. Jika wahyu pertama itu dibacakan Jibril atau bentuk lain, wahyu kedua adalah segala wujud ciptaan Allah berupa benda mati, tumbuhan, hewan, manusia dan makhluk gaib. Semua ciptaan mempunyai kaidah keberadaannya sendiri yang lebih dikenal sebagai sunatullah atau prinsip-prinsip dasar keberadaan yang juga disebut hukum alam.  
Wahyu pada ranah pertama dipahami dengan menafsirkan teks secara eksplanatif, dan wahyu pada ranah kedua dipahami dengan melalui deskripsi, eksplorasi, dan eksperimentasi secara sistematis.[22] Lahirnya dua bagian ilmu paling dasar; ilmu tekstual tentang segala ciptaan dalam bentuk teks, dan ilmu kontekstual tentang segala ciptaan yang empiris. Keduanya disatukan di dalam filsafat dengan segala tingkatan.
Filsafat sebagai akar dari ilmu tersebut  dalam suatu struktur hirarkis yang meletakan metafisika sebagai dasar yang daripadanya muncul beragam akar cabang. Dalam akar cabang metafisika inilah terletak teologi, ontologi, fisika, kosmologi, etika, estetika, logika, dan epistemologi atau akar cabang filsafat lainnya. Semua akar cabang filsafat adalah dasar munculnya beragam teori yang lazim dikenal dengan sebuah ilmu.
Dari sini filsafat Dari beragam cabangnya di atas ontologi bisa ditempatkan sebagai akar dari filsafat tentang benda mati, tumbuhan, hewan, manusia, dan makhluk ghaib. Ilmu tauhid adalah derivasi teologi, sementara ilmu keislaman lain berada pada posisi sejajar dengan ilmu alam, sosial, humaniora, bedanya ilmu keislaman dibangun secara deduktif dari data verbal al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan ilmu alam, sosial, dan humaniora dibangun dari data kuantitas alam, sosial dan humaniora melalui proses induksi. Secara normatif kedua ilmu ini semestinya paralel, sehingga ketika keduanya berbeda bisa berarti keduanya salah, satu dari kedua ilmu itu ada yang salah, atau dialog keduanya belum selesai. [23]
Sesuai sifat dasarnya, kebenaran semua jenis ilmu di atas bersifat relatif dan belum final,  Karena hanya Tuhan dan firman-Nya saja yang bersifat final. Dan ilmu-ilmu yang bersifat teoriris ini kemudian lahir beragam teknologi yang kerelatifisannya lebih tinggi, sehingga lebih mudah berubah dan berkembang searah dengan perkembangan pemikiran dan pengalaman manusia. Pengembangan ilmu dan teknologi inilah yang merupakan fungsi utama lembaga pendidikan tinggi.
Ilmu-ilmu yang selama ini disebut ilmu-ilmu agama, sebenarnya tidak sesuai dengan fungsi Islam sebagai petunjuk kehidupan manusia dikala hidup dan sesudah mati, ditempatkan tentang ilmu hubungan manusia tersebut yang khusus tata-cara ritual langsung pada Tuhan atau melalui media alam dan manusia. Ilmu fiqh (syariat), ilmu tauhid, ilmu tafsir, dan ilmu hadis tidak lagi tepat digolongkan ke dalam ilmu agama atau ilmu Islam, karena Islam semestinya mencakup semua jenis dan tingkatan ilmu.[24]  
Berdasarkan tentang keyakinan fungsi tentang Islam sebagai wahyu Allah guna menunjuki hidup manusia, semua ilmu adalah ilmu Islam atau tergolong studi Islam dengan satu prinsip kebenaran dan teknologi. Segala ilmu yang benar adalah ilmu Islam, apakah ilmu itu dikembangkan ilmuan yang lahir di Eropa dan Amerika atau di Timur Tengah, dan yang salah harus digolongkan kedalam ilmu yang belum Islam atau ilmu Kafir. Ukuran kebenaran adalah jika sesuai dengan kaidah alam dan teks yang bersifat relatif, karena itu derajat tertinggi kebenaran semua ilmu ialah dzanni atau probable. Di sini lah ke-Mahaghaib-an Allah akan tetapi dalam posisinya, sedangkan ilmu tauhid atau metafisika hanya sampai pada derajat mungkin benar atau hanya benar pada saat ia ditemukan dan dirumuskan.
  Namun di sisi lain bahwa Islam mengalami keterpurukan dan ketertinggalan dalam hal peradaban jika dibandingkan dengan Barat, dalam konteks ini pengetahuan yang dimiliki Islam sangat jauh untuk mampu bersaing dengan mereka, dan ini dibentuk dari latar yang sangat panjang dalam sebuah bacaan sejarah perjalanann umat Islam sejak dulu hingga sekarang. Dan ada penambahan kembali bahwa performen dari Islam adalah peradaban yang tidak bisa lepas dari proses pengadopsian dari disiplin keilmuan maupun sains. Dari realitas keterpurukan ini menjadi satu langkah yang dapat diambil dari sekian pemikiran muslim untuk menemukan solusi terbaik agar mampu terangkat dari keterpurukan. Yang sebelumnya juga bahwa peradaban Barat mengambil dari peradaban Islam klasik yang dulu pernah mengalami kejayaan pada masa kekhalifahan Muawiyah dan Abbasiyah. Menurut Sayed Muhammad Naquib Al-Attas; kemunduran umat Islam itu disebabkan oleh lemah dan rusaknya ilmu pengetahuan (corruption knowledge), sehingga tidak mampu lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan.  Karena itu ia menawarkan solusi sentralnya, yakni pembenahan ilmu pengetahuan umat Islam secara fundamental yang lebih populer dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, suatu istilah yang hingga kini disalah pahami dan menjadi sebuah kontroversi.[25]
 Dari sekian pemikir pembaharu kita melakukan langkah taktis dan strategis untuk melakukan Islamisai ilmu pengetahuan yang biasa dikumandangkan oleh Muhammad Abduh, Ahmad Khan, Al-Faruqi, dan Al-Attas, dengan berbagai pretensi yang berbeda namun pada subtansinya sama menghendaki Islam lebih baik dan maju.  
Ide Islamisasi sebenarnya berangkat dari asumsi bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai atau netral.  Betapapun diakui pentingnya transfer ilmu Barat ke dunia Islam, ilmu secara tak terelakkan sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang merefleksikan pandangan dunia masyarakat yang menghasilkannya, dalam hal ini masyarakat Barat. Sebelum diajarkan lewat pendidikan, ilmu harus ditapis terlebih dulu agar nilai-nilai yang bertentangan secara diametral dengan pandangan dunia Islam dapat diminimalisasi. Secara ringkas, gagasan Islamisasi merupakan upaya dekonstruksi terhadap ilmu pengetahuan Barat untuk kemudian direkonstruksi ke dalam sistem pengetahuan Islam.
Namun gagasan Islamisai pengetahuan mengalami berbagai perdebatan yang menimbulkan pro maupun kontra, dari segi yang pro mengambil argumen, bahwa saat ini umat Islam sangat membutuhkan pengetahuan yang tidak bisa untuk dipisahkan dari muatan spiritualnya, dan pengetahuan pada saat ini menjadi ancaman bagi umat Islam jika tidak mampu bersama-sama menggagas dan melakukan tindakan untuk terus mengejar ketertinggalan, dan selanjutnya kita juga perlu menggagas ilmu pengetahuan yang selaras dengan ajaran Islam,  maka dari situ perlu untuk digagas Islamisasi pengetahuan.[26]
Dan dari pihak kontra beranggapan bahwa pengetahuan yang sekarang dimiliki oleh Barat tidak bisa lepas dari pada pengetahuan yang pernah diperoleh oleh Islam pada masa kejayaannya, dengan kata lain bahwa Barat telah mengambil pengetahuan yang pernah dimiliki oleh Islam, sehingga mereka banyak berhutang budi pada ilmuan muslim. Maka yang terpenting bukan bagaimana mengislamisasikan ilmu pengetahuan melainkan bagaimana merubah pelaku atau subjek.[27]   
Dari kedua pandangan ini yang membedakan keduanya adalah, dari pihak yang pro melihat dimensi ilmu pengetahuan sebagai objek kajian yang perlu dicari landasan filosofisnya yang Islami, sedangkan pihak yang kontra lebih melihat subjeknya atau pembawa dan pengembang ilmu pengetahun itu sendiri yang harus Islami.[28]
Jika kita melihat kembali dari gagasan Islamisasi pengetahuan, maka kita akan melihat kembali gagasan pemikiran non-muslim atau Barat sebagai ancapan bagi dunia muslim di masa sekarang maupun yang akan datang. Maka dari itu kita perlu merumuskan kembali dari sekian pengetahuan yang telah dimiliki oleh Barat untuk mengimbangi perubahan sosial yang diperoleh, dan perlu merumuskan ukuran-ukuran normatif pengetahuan.
Dari sekian gagasan mengenai Islamisasi pengetahuan banyak tokoh Islam berpendapat seperti Al-Faruqi, pendekatan yang dipakai adalah dengan jalan menuangkan kembali seluruh khazanah pengetahuan Barat dalam kerangka Islam yang dalam prakteknya tak lebih dari usaha penulisan kembali buku-buku teks dari berbagai disiplin ilmu dengan wacana ajaran Islam. Sedangkan bagi Al-Attas adalah dengan jalan pertama-tama tubuh pengetahuan Barat itu harus dibersihkan dahulu dari unsur-unsur yang asing yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan kemudian dirumuskan kembali dengan memasukan muatan-muatan ajaran Islam didalamnya.[29]  
Islamisasi ilmu pengetahuan dengan demikian dapat dipahami sebagai upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam berilmu pengetahuan, mengembangkannya melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian rasional-empirik atau semangat pengembangan ilmiah (scientific inquiry) dan filosofi, yang merupakan perwujudan dari sikap concern, loyal dan komitmen terhadap doktrin-doktrin dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Model Islamisasi yang dapat dikembangkan dalam era kekinian, melalui beberapa cara, yaitu antara lain: Model Purifikasi, Model Modernisasi Islam, dan Model Neo-Modernis.[30] Revolusioner dalam mengislamkan pemikiran umat Islam, diawali dengan mentransformasi istilah-istilah dan konsep-konsep kunci yang terdapat dalam pandangan dunia (worldview) umat Islam.[31] 
Purifikasi mengandung arti pembersihan atau pensucian. Dalam arti, ia berusaha menyelenggarakan pensucian ilmu pengetahuan agar sesuai dengan ajaran dan norma-norma Islam. Model modernisasi Islam berangkat dari keterbelakangan, akan keterbelakangan umat Islam di dunia sekarang, yang disebabkan oleh kepicikan berfikir, kebodohan dan ketertutupan dalam memahami ajaran agamanya sendiri, sehingga sistem pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan tertinggal terhadap kemajuan yang dicapai Barat. Modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah yang haq. Sunnatullah itu mengejawantahkan dirinya dalam alam, sehingga untuk dapat menjadi modern umat Islam dituntut untuk memahami lebih dahulu hukum yang berlaku dahulu dalam alam, yang pada gilirannya akan melahirkan ilmu pengetahuan. Karena itu modernisasi bersikap ilmiah dan rasional. Dan untuk memahami alam manusia tidak mampu untuk memahaminya secara keseluruhan sehingga perlu adanya tahapan demi tahapan. Karenanya pengembangan ilmu pengetahuan modern bersifat progresif dan dinamis.

D.    Rekonstruksi Tauhid Menuju Pluralisme Pendidikan Islam
Sikap hidup dengan pengalaman hidup yang tertuang dalam tatanan kita perlu diilhami dengan sikap-sikap ketuhanan yang merupakan bentuk pengejawantahan dari sikap dan perilaku Tuhan. Maka setidaknya ajaran tauhid yang diajarkan di sekolah dapat membentuk dan memperkuat rasa keimanan dan ketakwaan peserta didiknya, tidak kemudian menjadikan mereka makin jauh dari Tuhan dan dari masyarakat dan lingkungannya.
Tauhid yang benar mencakup pula pengertian yang benar tentang siapa Dia dan dapat terakumulasi dengan keyakinan dalam hati (sebagai insan yang hanif) dengan totalitas penghambaannya, dan juga dengan pernyataan dalam bentuk lisan dengan keteguhan yang kokoh dalam hati dan pendirian, bisa juga ini termanifestasi dalam rukun Islam yang pertama syahadah (dua kalimat sahadat), Kalimat Lailaha illah Allah adalah bentuk kesaksian seseorang muslim yang terformulasi dalam kalimat syahadat. Sebuah kalimat pendek namun amat esensial dalam kehidupan seorang muslim. Sebagai kemutlakan keesaan, tanpa ada yang lain selain Dia. Dengan Lailaha illah Allah seorang muslim tidak saja meniadakan sesembahan selain Allah, sekaligus menetapkan sesembahan hanya Allah semata.
Dalam kajian filsafat, yang pernah dikembangkan dengan memadukan pemikiran Yunani pada filsafat Islam ialah penerapan Neoplatonisme sebagai jalan utama dalam berfilsafat untuk mengenal Tuhan.
Dalam Neoplatonisme, misalnya, ada penekanan pada salah satu Wujud atau Sumber Utama yang darinya alam semesta tercipta secara sedemikian rupa sehingga tidak merusak kesatuan mutlak Sang Mahatunggal tersebut.[32] Masalah filsafat itu menyimak masalah teologi yang muncul dalam konteks Islam, yaitu bagaimana kita bisa mendamaikan keesaan Tuhan dengan keragaman eksistensi tanpa mengorbankan sikap kesempurnaan dan kemandirian? Dapatkah kita mengatakan Tuhan memiliki berbagai macam sifat? Apakah itu tidak berarti mempersekutukan Tuhan dengan hal-hal lain, dan mengakibatkan kemusyrikan? Terjadi perdebatan teologi yang panas seputar masalah itu.
Dan bagaimana bersikap dengan-Nya, terejawantahkan dalam perilaku rukun Islam yang kedua sampai kelima; shalat, zakat, puasa dan haji. Shalat sebagai dimensi spiritual sekaligus juga mencakup dimensi sosial, dengan gambaran adanya kesamaan manusia di hadapan Allah dengan tidak memandang status sosial yang dipegangnya, semua sama ketika bersujud di hadapan-Nya, kepala sejajar dengan kaki, di sana mengadung nilai kesetaraan manusia satu sama lain. Zakat, sebagai santunan sosial yang jelas-jelas dampak sosialnya dapat kita lihat dan saksikan secara langsung. Puasa, memiliki nilai uji untuk kita, agar dapat merasakan penderitaan, kepedihan yang dialami oleh orang-orang miskin. Haji, berkumpulnya umat manusia, dengan mengenakan baju ihram memiliki makna wujud persaudaraan, kesamaan, umat manusia di hadapan Tuhan, dan sebagai wadah Ukhuwah Islamiyah
Serta kepada objek-objek selain Dia (sesama manusia dan alam), namun ini juga bisa benar jika  konsep pertama dan kedua dijalankan dengan benar pula, karena konsep awal bisa dijadikan representasi dari ketaatan seseorang pada wilayah transidental dan benar, jika, ketaatan oleh kita  untuk mampu dikebumikannya dalam wilayah yang lebih manusiawi, ranah sosial. Tauhid tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang bersifat mengambang yakni dalam sebuah dimensi vertikal saja yang tanpa makna, tetapi tauhid adalah membahas pula dimensi horizontal dengan sekian makna yang berada dalam tataran praktis dari tauhid itu sendiri dalam membentuk serentetan tatanan sosial yang lebih baik dengan semangat ketauhidan, dan tauhid sebagai sumber intinya. 
Kesatuan alam yang berdasarkan prinsip tahuid ini dapat diterapkan dalam dua hal. Pertama, tata kosmos, baik makro maupun mikro, adalah refleksi-refleksi illahiah yang membuktikan adanya suatu eksistensi yang realistis, yang mustahil bisa diingkari oleh manusia. Dan logika dari keterciptaan alam sebagai sesuatu yang makrokosmo dalam analisa yang dipergunakan oleh Al-Farabi, menguraikan ke-Ada-an alam pada umumnya (ontologi), cara meng-Ada dari Wujud pertama (kosmologi), bentuk pengelompokan politik (political association) dan puncak perjalanan manusia (psikologi filosofis).[33]
Dengan konsep emanasi (faidh)[34] sebagai bentuk dari ketidak mampuan manusia untuk menebus alam kosmos untuk mengetahui identitas tentang awal dari sebuah Wujud keterciptaan alam dan jagat raya ini, yang tidak mungkin ada dengan sendirinya, sehingga ia menggambarkan sebagai pancaran yang dikenal dengan intelek, dengan beberapa tahapan. Emanasi “menurun” terjadi sesuai dengan prinsip penyurutan (regression) dan penyusutan (devolution), yaitu Wujud Paripurna surut menjadi maujud yang kurang sempurna; yang kurang sempurna menjadi yang lebih tidak sempurna; dan demikian seterusnya.[35] Jadi, persis di bawah Wujud Paripurna ini terdapat intelek pertama yang bisa memikirkan dirinya, sekaligus Sumber Asalnya. Manakala ia memikirkan Sumber Asalnya, muncul intelek kedua. Manakala intelek kedua memikirkan yang di atasnya (intelek pertama), muncul intelek ketiga, yang bertindak memikirkan dirinya sendiri sehingga timbul langit pertama. Dan keabsahan tata kosmos diukur dengan menggunakan jangkauan logika. Tata kosmos besar, yang beredar dalam formasi spiral, memberi keterangan kepada manusia bahwa sesuatu yang teratur menurut garis aturannya disengaja oleh kekuatan energi, yaitu energi Allah. Alam ini bersumber dari sesuatu yang satu yakni Tuhan.                                                                                                                                   
Kedua, tata energi, adalah dinamika spiritual yang ghaib yang dimiliki Allah. Meliputi wujud energi kepada materi.[36] Atom sebagai ukuran terkecil dari suatu benda yang mampu untuk melakukan gerak, dan tiap atom itu memiliki kemampuan untuk bergerak dan mengakibatkan gerakan yang besar pula pada benda-benda disekitarnya jika masing-masing atom itu bergerak, ibarat sebuah angin dengan tiupannya, sebagai partikel yang sangat kecil, jika geraknya itu  dimanfaatkan akan menghasilkan beragam gerak. Sebuah benda yang ada di dalamnya mempunyai tenaga dan daya.
Analisa di atas dapat memberikan satu ilustrasi kaitannya  dengan keberadaan Tuhan di alam ini, dan juga dengan eksistensi dari ilmu pengetahuan yang bersifat keagamaan maupun kealaman yang pada dasarnya bersumber dari hal yang satu, ilmu kealaman pada hakekatnya, berfungsi untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita melalui proses penelitian dan eksperimen tentang keberadaan alam, sehingga pada intinya ilmu  agama satu sama lain saling mendukung dan mengimbangi, yang menjadikan keduanya berbeda adalah metode untuk memperoleh pengetahuan, ilmu kealaman (sains) lebih cenderung menggunakan pendekatan rasional-empirik dengan kata lain melalui proses observasi, eksperimen dari sekian peristiwa yang ada, sedangkan ilmu keagamaan lebih cenderung menggunakan pendekatan hati-nurani intuisi, yang bersifat transidental, yang dalam pembahasaan disebut ilham, wahyu, dan pendapat banyak filosofis Islam mengemukkan keduanya akan bertemu pada akal tingkat tinggi yakni akal fa’al, agama dan akal sesekali tidak ada pertentangan.[37]  
Pokok pangkal kebenaran universal yang tunggal dan dibawa oleh semua nabi adalah faham ketuhanan yang Maha Esa (tauhid). Paham yang dibawa oleh manusia tentang keyakinannya baik yang berkaitan dengan persoalan privasi maupun publik tidak akan pernah bisa terhindar dari kata benar dan salah, membenarkan atau menyalahkan, tidak pernah menyadari satu sama lain, yang berakibat pada bentuk pengkultusan atau pengideologian dari pahamnya itu, yang berakibat pada pengkerdilan pola pemikiran untuk mencari kebenaran dilain pihak. Yang mengakibatkan kejumudan pemikiran dan berakibat pula pada ketertinggalan peradaban. Karena menganggap kebenaran telah final, tidak ada kebenaran yang lain, maka layak Islam jika disebut oleh orientalis sebagai agama inferior dan peradaban inferior. Padahal jika kita kembali pada tauhid, dengan pemahaman yang benar, kebenaran itu hanya milik Allah, maka tidak ada hak kita untuk menggangap paling benar.
Tauhid tidak menjadikan kita bersikap eksklusif, fanatik, intolelir, diskriminasi, disharmoni, dehumanisme dan lainnya. Tapi menjadikan kita untuk bersikap inklusif, toleran, egaliter, humanis dalam wacana kemajemukan dan pluralisme, sebagai realita yang tidak bisa kita pungkiri.
Pemahaman seseorang tentang sesuatu hal tidak bisa untuk disatukan, keyakinan seseorang merupakan sesuatu yang bersifat majemuk, alam ini juga majemuk dari keragaman yang ada di sekitarnya, kemampuan seorang juga beragam, dan kebenaran juga beragam, tetapi keberagaman tidak dijadikan oleh kita untuk mempertajam perbedaan tetapi bagaimana kita bisa memahami dari sekian perbedaan. Maka perbedaan dapat diidentifikasikan dalam banyak persoalan, semisal perbedaan, agama, suku, bangsa, ras, kulit, keturunaan, dan lainnya.
Dari sekian perbedaan menjadi inti poin daripada pendidikan kita untuk mampu menjawab sekian persoalan kemajemukan tersebut, baik itu pendidikan umum maupun pendidikan Islam.
Dalam pendidikan Islam yang menjadi masalah utama dan mewarnai atmosfir dunia pendidikan Islam sebagai akibat ketidak mampuan kita untuk menyikapi sebuah perbedaan, pada umumnya sedikit dapat diklasifikasikan sebagai berikut; pertama, Dicotomic (pendikotomik), pada tataran filosofis perlu redefinisi teologi pendidikan Islam yang mengintegrasikan paradigma ilmu dan nilai ajaran Islam,[38] kedua, Too General Knowledge (Ilmu yang terlalu bersifat umum, kurang menyelasaikan masalah) sebagai bagian dari pengalaman yang pernah dilakukan oleh umat Islam pada masa-masa lampau telah menjadikan sebagian umat Islam trauma dengan penggunaan ilmu kealaman yang berpangkal pada rasio, yang pernah dikembangkan oleh Mu’tazilah, pada masa khalifah Al-Ma’mun, yang selanjutnya dimensi hati lebih mendominasi dan diunggulkan ketimbang rasio, dengan ajaran yang berkembang pada saat itu adalah Sunni, dengan semangat keagamaan yang tekstual, umat Islam mulai melupakan filsafat dengan berbasis pada rasionalisme-empirik maupun debat teologi, ketiga, The Spirit of Inquiri, (rendahnya semangat mengadakan penyelidikan-penelitian) perlu dikembangkan semangat pengetahuan yang dapat mengikuti perkembangan baru, ditambah lagi ilmu pengetahuan tidak menjadikan sesuatu yang mesti dicari dengan adanya pandangan tauhid yang salah, semestinya yang perlu dicari dalam doktrin tauhid yang salah hanya terfokus kepada ketuhanan, maka ilmu spiritual saja yang pantas untuk dicari, tidak untuk yang lain, keempat, Memorisasi (pola pengajaran dan belajar lebih bersifat tekstual, model hafal daripada pemahaman) perlu dikembangkan dari pemikiran pendidikan yang dikembangkan oleh Islam yang pernah diterapkan pada Madrasah Nihzamiyah, di Irak, atau konsep pembelajaran Barat dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi, atau pendidikan Life Skill (pendidikan kecakapan hidup), pendidikan tidak saja berbicara pada wilayah konsep tapi perlu penerapan, kaitannya juga dengan lima rukun Islam, kelima, Certificate Oriented (Mencari ilmu hanya sebagai proses mendapatkan ijazah atau sertifikat),[39] sebetulnya ini bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan pendidikan atau menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka entripoin dari itu bukan ijazah atau sertifikat tetapi ilmu itu sendiri.
Dengan demikian ternyata jika kita mencermati persoalan pendidikan Islam dalam kerangka pengembangan konsep dan teorisasi, tidak hanya dilihat secara normatif, tetapi juga secara filosofis dan bahkan secara empirik. Berbagai nilai normatif dalam ajaran Islam perlu sekali dipikirkan secara filosofis agar teraktualisasi pada tataran empirik yang dikembangkan dalam dinamika pendidikan Islam. Pencarian konsep pendidikan Islam tidak menutup kemungkinan dengan melakukan kombinasi antara pandangan Islam dengan pemikiran pendidikan modern sepanjang memiliki relevansi.
Pola kajian pemikiran dan teori pendidikan Islam pada hakekatnya berusaha mengembangkan konsepsi pendidikan Islam secara menyeluruh dengan bertitik tolak dari sejumlah pendangan dasar Islam mengenai kependidikan  dan mengkombinasikannya dengan pemikiran pendidikan modern (Barat). Dalam pengertian ini, maka kajian seperti ini secara implisit menyarankan adanya aspirasi dikalangan pemikir pendidikan Islam untuk melakukan semacam terobosan intelektual.[40] 
Dengan tetap mempertahankan pluralisme, seseorang akan tetap menjadi kritis, baik dalam filsafat maupun teologi. Pluralisme inilah yang hilang dalam Islam. Islam dalam teologi harus mempertahankan kebebasan bagi setiap muslim untuk berpartisipasi dalam ijtihad. Pemahaman ini penting untuk membangun pemikiran di negara-negara Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam Islam.
Juga menekankan pentingnya pendidikan yang didasarkan pada humanisme. Dalam kaitan itu, di sekolah-sekolah menengah perlu diajarkan multibahasa asing, sejarah, dan antropologi, serta perbandingan sejarah dan antropologi agama-agama. “Marilah kita terbuka pada semua kebudayaan dan terbuka pada semua pemikiran”.  Dengan demikian semua mampu terwujud dalam membentuak konsep pluralisme pendidik Islam.

Daftar Rujukan
Abdullah, Abd. Rahman, Aktulisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam: Rekonstruksi Pemikiran dalam  Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam, yogyakarta: UII Press, 2001.
Azra, Azyumardi, Pendidiakn Islam: Tradisi dan Moderenisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999..
Bahri, Abdul Malik, Filsafat Pendidikan, Semarang: Iqra, 1994.
Fakhry,Majid, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kosmologi, Jakarta: Mizan; Seri Filsafat, 2002.
Irfan Mohammad, dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan: Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Jakarta: Friska Agung Insani, 2000.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Leaman, Oliver, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematik, Jakarta: Mizan; Seri Filsafat Islam, 2002.
Majid, Nurchoish, dkk., Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi: Wacana Tentang Pendidikan Agama Islam, editor; Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri, Jakarta; Logos, 2002.
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisai Pengetahuan, Bandung: Nuansa, 2003.
Muhaimain, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Islam Di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Mulkhan,  Abdul Munir, Nalar Spiritual Pendidikan Islam: Solusi Problem Filosofi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Natta, Abudin, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta Timur: Pranada Media, 2003..
Natta, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
Shafiq,Muhammad, Mendidik Generasi Baru Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Yushofa, Nita, Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Sebuah Upaya Pembebasan, m@polarhome.com 22 Juli 2004. diakses, Kamis, 23 Juli 2004.





[1] Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 180.
[2] Ibid., hlm.181.
[3] Abdul Malik Bahri, Filsafat Pendidikan, Semarang: Iqra, 1994, hlm. 47.
[4] Abdul Munir Mulkhan,  Nalar Spiritual Pendidikan Islam: Solusi Problem Filosofi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002, hlm. 237.
[5] Ibid.
[6] Muhaimain, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Islam Di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002, hlm. 266.
[7] Abudin Natta, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta Timur: Pranada Media, 2003, hlm. 196.
[8] Ibid.
[9] Abudin Natta, Akhlak Tasawuf, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1994, hlm. 32.
[10] Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan: Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Jakarta: Friska Agung Insani, 2000, hlm. 32.
[11] Ibid.
[12] Ibid., hlm. 34.
[13] Ibid.

[14] Muhammad Shafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 164.
[15] Ibid.
[16] Ibid., hlm. 165.
[17] Nurchoish Majid, dkk., Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi: Wacana Tentang Pendidikan Agama Islam, editor; Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri, Jakarta; Logos, 2002, hlm. 262.
[18] Ibid.
[19] Ibid., hlm. 263.
[20] Muhammad Shafiq, op. cit., hlm. 158.
[21] Ibid., hlm. 160.
[22] Abdul Munir Mulkhan, op. cit., hlm. 239.
[23] Ibid., hlm. 240.
[24] Ibid., hlm. 241.

[25] Nita Yushofa, Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Sebuah Upaya Pembebasan, m@polarhome.com 22 Juli 2004. diakses, Kamis, 23 Juli 2004.
[26] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisai Pengetahuan, Bandung: Nuansa, 2003, hlm. 329.
[27] Ibid., hlm. 330.
[28] Ibid.
[29] Ibid., hlm. 331.
[30] Ibid., hlm. 338.
[31] Nita Yushofa, lo cit.
[32] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematik, Jakarta: Mizan; Seri Filsafat Islam, 2002, hlm. 4.
[33] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kosmologi, Jakarta: Mizan; Seri Filsafat, 2002, hlm. 47.
[34] Penciptan yang terus-menerus, tanpa awal dan tanpa akhir, dan berlangsung otomatis. Dan gambaran ini menciptakan keterkaitan segala sesuatu secara pasti sedemikan rupa sehingga jajaran realita yang lebih tinggi menentukan kejadian jajaran yang ada di bawahnya dalam pola yang paling mungkin secara logis dan rasional.
[35] Majid Fakhry, op. cit., hlm. 48.
[36] Mohammad Irfan dan Mastuki HS, op. cit., hlm. 43.

[37] Oliver Leaman, op. cit., hlm. 204.
[38] Abd. Rahman Abdullah, Aktulisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam: Rekonstruksi Pemikiran dalam  Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam, yogyakarta: UII Press, 2001, hlm. 3.
[39] Ibid.
[40] Azyumardi Azra, Pendidiakn Islam: Tradisi dan Moderenisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999, hlm. 90-91.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar